Catatan Psikologi: Makna Setahun Kali Ini

28 April 2016 - 28 April 2017

Sore itu, ayah mengirimkan sebuah pesan pendek pada saya.
“Ya, besok mulai kerja, ya.”

Setelahnya,
Waktu kadang terasa lama berjalan, namun kadang juga terlampau cepat hingga sudah setahun saja berlalu sejak hari itu.

Banyak yang berubah, tentu saja. Ini sebuah langkah baru dalam perjalanan hidup saya, setelah hampir tiga tahun terombang-ambing dalam lautan ketidakpastian untuk mendapatkan pekerjaan.

Pekerjaan yang sesuai dengan yang saya impikan.

Percayalah, tak mudah mendapatkan pekerjaan seperti yang kalian impikan. Bukan tak bisa, hanya tak mudah, untuk saya prosesnya cukup panjang dan berliku yang berujung pada sebuah jalan buntu, jalan yang memaksa saya mengambil langkah untuk memutar jalan kembali, pulang.

Mari kita kembali ke beberapa tahun yang lalu.

Medio November 2011, saya bekerja sebagai freelancer sebuah biro psikologi di kota tempat saya tinggal. Walau hanya freelance, tapi saya sangat senang bekerja disana, karena sesuai dengan latar belakang pendidikan saya. Tak berapa lama, saya ditawarkan untuk menjadi tester tetap, namun dikantor cabang biro tersebut yang berada diluar kota, bagi saya tak masalah, dan juga salary yang didapat pun sangat-sangat jauh diatas ekspetasi saya, belum lagi bonus, dan jalan-jalan diakhir tahun. Namun kemudian tawaran tersebut dengan terpaksa saya tolak, karena saya tidak bisa meninggalkan rumah karena kondisi kesehatan ayah saat itu.

Walau saya menolak tawaran mereka, tapi saya masih tetap menjadi freelancer disana, hingga saya mendapat pekerjaan sebagai guru TK. Iya, guru TK. Saya menjalani pekerjaan ini selama dua tahun. Awalnya, saya berpikir ini hanya sementara, hanya hingga saya mendapat pekerjaan yang sesuai dengan yang saya inginkan.

Pertengahan 2014, saya memutuskan untuk berhenti, dan hijrah ke Jakarta. Iya, demi mendapatkan pekerjaan. Awalnya saya mengikuti tes CPNS di Kemnkeu, dan lolos hingga tes tertulis, hanya sampai disitu saja, selanjutnya petualangan sebagai job seeker pun dimulai.

Banyak sekali lowongan pekerjaan yang seperti saya impikan, mulai dari lowongan di kantor majalah yang majalahnya selalu saya baca sejak memakai rok biru, hingga perusahaan besar dibilangan SCBD. Beratus-ratus (mungkin ribuan jika apply online boleh dihitung) lamaran saya kirimkan, entah berapa puluh bahkan ratusan kali hadir interview, dan segala jenis job fair pun saya ikuti. Job fair di Jakarta itu seru sih, ramenya udah kayak mau nonton konser, asli! Dan diantara stand-stand lowker itu, juga ada stand yang berjualan makanan dan minuman, bahkan yang jual pulsa dan case handphone pun ada!

Pernah beberapa kali saya diterima, namun karena satu dan lain hal saya terpaksa menolaknya, terakhir adalah sebuah pekerjaan sebagai guru Bahasa Indonesia untuk para anak-anak ekspatriat disebuah sekolah dibilangan Jakarta Barat. Pekerjaan yang tak sulit (saya pikir), dan salary yang senilai motor matic yang baru, saya setuju, hingga akhirnya sang pemilik yayasan mengajukan satu syarat, saya harus melepas jilbab. Cobaan. Tentu akhirnya saya tolak. Se-frustasi apapun saya karena tak kunjung juga dapat pekerjaan, saya tidak akan mau melakukan hal itu. Life.

Oh ya, saya tak mutlak menjadi pengangguran selama bertahun itu, pekerjaan sebagai freelancer masih terus berjalan, meski tak selalu ada. Alhamdulillah, masih dapat pemasukan tambahan dari projekan teman-teman. Cukup, meski tak berlebih.

Honestly, itu adalah tahun-tahun terbaik saya, tak punya ikatan pekerjaan tetap dengan siapapun, bebas kesana-kemari, bisa bekerja dimana saja dan kapan saja, dan yang pasti tidak harus duduk manis selama berjam-jam tiap harinya dibelakang meja.

Namun, seperti layaknya sebuah cerita, kisah ini pun harus berakhir. Segala kebebasan ini harus berhenti, saya harus kembali.

Karena tak juga mendapat pekerjaan tetap-yang membuat orang tua selalu resah-akhirnya saya dipanggil pulang. Iya, setelah berpetualang di Ibu kota sekian tahun, saya akhirnya (terpaksa) pulang, bukan karena menyerah, tapi karena (pada akhirnya) saya harus berhadapan dengan realita. Mau sampai kapan begini? Sebuah pertanyaan yang selalu ditanyakan orang pada saya, termasuk orang tua.

Begitulah, setahun yang lalu saya akhirnya menerima pekerjaan ini, dengan mudah saya dapatkan karena rekomendasi dari ayah tentunya. Bukan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan saya, bukan pekerjaan yang sesuai dengan passion saya, bukan pekerjaan impian saya.

Iya, hidup kadang se-ironi itu, saya yang tak betah duduk berjam-jam dibelakang meja ini kemudian harus menghadapi pekerjaan yang kadang bahkan menuntut waktu libur saya. Malam mingguan dikantor, sudah biasa. Di telpon kantor dihari minggu bahkan tanggal merah sekalipun, yasudah terima saja.

Setahun belakangan, hidup saya kembali ke titik-dimana saya pernah memutuskan untuk pergi karena sudah tak tahan lagi-jenuh dihidup saya.

Setahun ini banyak yang berubah, walau setiap harinya masih punya kepikiran untuk resign, namun semua kalah oleh pemikiran logis yang lain.

Setahun ini banyak yang terjadi, banyak yang merubah pola pikir saya dan cara pandang saya pada hidup. I’m not change, I’m growing up.

Alter ego saya masih selalu berteriak, tapi saya berusahan untuk lebih wise lagi dalam hidup.

Gak semua yang saya inginkan selalu terjadi, gak semua yang yang saya bayangkan dapat terwujud.

Terimakasih untuk setahun penuuh perjuangan ini, saya percaya bahwa pasti ada hikmah dari semua ini, yang saya perlukan hanya bersabar terperangkap disini, hingga suatu hari nanti saya dapat kembali pada track saya semula, I can live like what I want.



Cheers.

Share:

0 Comments